Minggu, 31 Mei 2015

makalah larangan monopoli dan menimbun barang pokok


Pendahuluan
a.latar belakang
       Ditengah krisis ekonomi yang berkepanjangan yang menimpa negara Indonesia, khususnya umat Islam, banyak sekali orang-orang yang ingin memperoleh keuntungan dengan jalan yang tidak halal, yaitu tidak sesuai dengan peraturan-peraturan dalam Islam. Misalnya saja, masalah penimbunan barang pokok telah banyak sekali terjadi karena ingin mempeoleh keutnngan yang lebih untuk pribadinya sendiri, sedangkan orang-orang yang berada di kalangan bawah menjadi rugi karenanya. Oleh karena itu, banyak sekali penguasa yang mengeruk keutnungannya dengan cara ihtikar (penimbunan) khususnya makanan pokok, jenis sekali ini sangat menguntungkan mereka karena dengan menimbun barang poko tersebut. Mereka memaksa masyarakat untuk membeli dengan harga 2 kali lipat, karena barang yang ada di pasaran sudah habis dan para konsumen mau tidak mau harus membelinya dari mereka. Oleh karenanya, ihtikar sangat dilarang oleh agama Islam karena sangat merugikan orang-orang kecil dan hukumnya berdosa.
b.Rumusan masalah
1.Bagaimana larangan menimbun dan monopoli?
2.Bagaimana larangan terhadap tengkulak?
3. Bagaimana larangan menimbun barang pokok?
c.tujuan masalah
1.Untuk mengetahui larangan menimbun dan monopoli?
2. Untuk mengetahui larangan terhadap tengkulak?
3. Untuk mengetahui larangan menimbun barang pokok?









Pembahasan
Larangan menimbun dan monopoli

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَقَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ مَعْمَرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نَافِعِ بْنِ نَضْلَةَ الْعَدَوِيِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَحْتَكِرُ إِلَّا خَاطِئٌ مَرَّتَيْنِ
(Darimi - 2431) Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Khalid telah menceritakan kepada kami 
Muhammad bin Ishaq dari Muhammad bin Ibrahim dari Sa'id bin Al Musayyab dari Ma'mar bin Abdullah 
bin Nafi' bin Nadhlah Al 'Adawi, ia berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 
"Tidak menimbun kecuali ia akan berdosa."
Menimbun / memonopoli adalah tindakan  menyimpan harta, manfaat atau jasa dan enggan menjual dan memberikannya kepada orang lain, yang mengakibatkan melonjaknya harga pasar secara drastis disebabkan persediaan terbatas atau stok barang hilang sama sekali dari pasar, sedangkan masyarakat, Negara atau pun hewan memerlukan produk, manfaat atau jasa tersebut.
Secara esensi definisi di atas sama, dan dapat difahami bahwa iktikar  yaitu:

1. Membeli barang ketika harga mahal.
2. Menyimpan barang tersebut sehingga kurang persediaannya di pasar.
3. Kurangnya persediaan barang membuat permintaan naik dan harga juga naik.
4. Penimbun menjual barang yang di tahannya  ketika harga telah melonjak.
5. Penimbunan barang menyebabkan rusaknya mekanisme pasar.
                Hukum monopoli
Para ulama berbeda pendapat tentang hokum monopoli (ihtikar), dengan perincian sebagai berikut:
1.      Haram secara mutlak (tidak dikhususkan bahan makanan saja), hal ini didasari oleh sabda Nabi        SAW:

 مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ 
 Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa. (HR. Muslim 1605)


Menimbun yang diharamkan menurut kebanyakan ulama fikih bila memenuhi tiga kriteria:
a.       Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga untuk masa satu tahun penuh.Kita hanya boleh menyimpan barang untuk keperluan kurang dari satu tahun sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah SAW.
b.      Menimbun untuk dijual, kemudian pada waktu harganya membumbung tinggi dan kebutuhan rakyat sudah mendesak baru dijual sehingga terpaksa rakyat membelinya dengan harga mahal.
c.       Yang ditimbun (dimonopoli) ialah kebutuhan pokok rakyat seperti pangan, sandang dan lain-lain. Apabila bahan-bahan lainnya ada di tangan banyak pedagang, tetatpi tidak termasuk bahan pokok kebutuhan rakyat dan tidak merugikan rakyat. maka itu tidak termasuk menimbun.
2.      Makruh secara mutlak, Dengan alasan bahwa larangan Nabi SAW berkaitan dengan ihtikar adalah terbatas kepada hukum makruh saja, lantaran hanya sebagai peringatan bagi umatnya.
Haram apabila berupa bahan makanan saja, adapun selain bahan makanan, maka dibolehkan, dengan alasan hadits riwayat Muslim di atas, dengan melanjutkan riwayat tersebut yang dhohirnya membolehkan ihtikar selain bahan makanan, sebagaimana riwayat lengkapnya, ketika Nabi SAW bersabda:
مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ فَقِيلَ لِسَعِيدٍ فَإِنَّكَ تَحْتَكِرُ قَالَ سَعِيدٌ إِنَّ مَعْمَرًا الَّذِي كَانَ يُحَدِّثُ هَذَا الْحَدِيثَ كَانَ يَحْتَكِرُ
Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa. Lalu Sa'id ditanya,
"Kenapa engkau lakukan ihtikar?" Sa'id menjawab, "Sesungguhnya Ma'mar yang meriwayatkan hadits ini telah melakukan ihtikar!' (HR. Muslim 1605)
d.      Imam Ibnu Abdil Bar mengatakan: "Kedua orang ini (Said bin Musayyab dan Ma'mar (perowi hadits) hanya menyimpan minyak, karena keduanya memahami bahwa yang dilarang adalah khusus bahan makanan ketika sangat dibutuhkan saja, dan tidak mungkin bagi seorang sahabat mulia yang merowikan hadits dari Nabi SAW dan seorang tabi'in [mulia] yang bernama Said bin Musayyab, setelah mereka meriwayatkan hadits larangan ihtikar lalu mereka menyelisihinya (ini menunjukkan bahwa yang dilarang hanyalah bahan makanan saja).
3.      Haram ihtikar disebagian tempat saja, seperti di kota Makkah dan Madinah, sedangkan tempat-tempat lainnya, maka dibolehkan ihtikar di dalamnya, hal ini lantaran Makkah dan Madinah adalah dua kota yang terbatas lingkupnya, sehingga apabila ada yang melakukan ihtikar salah satu barang kebutuhan manusia, maka perekonomian mereka akan terganggu dan mereka akan kesulitan mendapatkan barang yang dibutuhkan, sedangkan tempat-tempat lain yang luas, apabila ada yang menimbun barang dagangannya, maka biasanya tidak mempengaruhi perekonomian manusia, sehingga tidak dilarang ihtikar di dalamnya.
4.      Boleh ihtikar secara mutlak, Mereka menjadikan hadits-hadits Nabi SAW yang memerintahkan orang yang membeli bahan makanan untuk membawanya ke tempat tinggalnya terlebih dahulu sebelum menjualnya kembali sebagai dalil dibolehkahnya ihtikar, seperti dalam hadits:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ رَأَيْتُ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ الطَّعَامَ مُجَازَفَةً عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَوْنَ أَنْ يَبِيعُوهُ حَتَّى يُؤْوُوهُ إِلَى رِحَالِـهِمْ
.Dari Ibnu Umar r.a. beliau berkata: "Aku melihat orang-orang yang membeli bahan makanan dengan tanpa ditimbang pada zaman Rosulullah SAW mereka dilarang menjualnya kecuali harus mengangkutnya ke tempat tinggal mereka terlebih dahulu." (HR. Bukhori 2131, dan Muslim 5/8)

A.Larangan terhadap tengkulak
عَنْ طَاوُسٍ، عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا تَلَقَّوْا اَلرُّكْبَانَ، وَلَا يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ» قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ: مَا قَوْلُهُ: «وَلَا يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ»؟ قَالَ: لَا يَكُونُ لَهُ سِمْسَارًا. ﴿مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ﴾.

                                                                                                                                        :  Terjemahan Hadis
Dari Ţāwus dari tentang Ibnu ‘Abbas rađiyaLlāhu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah şallaLlāhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian songsong (cegat) kafilah dagang (sebelum mereka sampai di pasar) dan janganlah orang kota menjual kepada orang desa”. Aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbas rađiyaLlāhu ‘anhuma: “Apa arti sabda Beliau; “dan janganlah orang kota menjual untuk orang desa”. Dia menjawab: “Janganlah seseorang jadi perantara (broker, calo) bagi orang kota”. (Şaĥīĥ al-Bukhāriy ĥadīś no. 2013)
Penjelasan Hadits :
Masyarakat Arab banyak yang mata pencariannya sebagai pedagang. Mereka berdagang ke negeri-negeri tetangga. Ketika mereka kembali, mereka membawa barang-barang yang sangat dibutuhkan oleh penduduk Mekkah.Ada juga pedagang asing yang sengaja datang ke mekkah atau kota lainnya di arab untuk memperdagangkan barang-barang mereka kepada penduduk mekkah.Mereka datang bersama-sama dalam suatu rombongan besar yang disebut kafilah. Penduduk arab berebut untuk mendapatkan barang dagangannya,karena harga barang tersebut harganya murah dan mereka merupakan pedagang pertama.Akan tetapi penduduk sering kali tidak mendapatkan barang secara langsung karena itu banyak tengkulak atau makelar mencegat rombongan tersebut di tengah jalan atau memborong barang yang dibawa oleh mereka.Mereka memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mendapatkan keuntungan besar,dengan menjualnya kembali dengan harga yang sangat mahal. Membeli barang dagangan sebelum sampai dipasar atau mencegatnya di tengah jalan merupakan jual beli yang terlarang didalam agama islam.
1.    Larangan mencegat para kafilah
            Maksud para kafilah disini,baik sendirian ataupun dalam rombongan bayak,baik memakai kendaraan ataupun berjalan .Akan tetapi,biasanya kafilah datang dengan rombongan besar dan mengendarai unta.Tempat yang dilarang mencegat barang adalah diluar pasar,atau diluar tempat menjual barang.
Menurut Hadawiyah dan Asy-syafi’I melarang mencegat barang diluar daerah, alasannya adalah karena penipuan kepada kafilah, sebab kafilah belum mengetahui harganya. Malikiyah, Ahmad, dan Ishaq berpendapat bahwa mencegat para kafilah itu dilarang, sesuai dengan zahir hadits. Hanafiyah dan Al-Auja’i membolehkan mencegat kafilah jika tidak mendatangkan mudarat kepada penduduk, tapi jika mendatangkan mudarat pada penduduk, hukumnya makruh.

Dengan uraian diatas kita dapat simpulkan bahwa bahwa larangan terhadap tengkulak itu disebabkan karena sifat keegoisan dan kelicikan seorang makelar terhadap penjual pertama atas barang dagangan. Dengan keegoisannya dan kelicikannya seorang makelar membeli barang dagangan tersebut dengan harga murah dan menjualnya dengan harga mahal. Sehingga dapat menimbulkan harga barang dagangan mahal yang bisa meresahkan sebagian masyarakat.

2. larangan menjadi perantara
            Perantara merupakan penafsiran Ibnu Abbas dari kata hadiru libad,yakni penduduk kota menjadi perantara bagi penduduk desa.
            Tujuan para tengkulak dari kota menjadi perantara untuk mengambil keuntungan sebanyak-bayaknya.Merka membohongi penduduk desa dengan menjual barang dengan harga sangat tinggi sesuai keinginan mereka.Perbuatan tersebut tentu saja dilarang oleh islam karena sangat memadaratkan.
            Berbeda hukumnya bila perantara betul-betul berusaha menolong penduduk yang tidak dapat membeli langsung dari pasar atau dari para kafilah.Barang-barang tersebut tidak akan sampai ketangan penduduk jika tidak melalui tengkulak(perantara).perantara seperti itu dibolehkan,bahkan ia menjadi penolong bagi orang-orang yang tidak mampu kekota untuk pergi membeli barang.Akan tetapi harganya jangan sampai mencekik penduduk.lebih baik jika tidak mengambil keuntungan ia hanya mengambil keuntungan sedikit atau sekedarnya saja.perantara seperti itu dikategorikan sebagai pedagang yang diperoleh dalam islam,bahkan kalau jujur dan bersih,mereka telah melakukan pekerjaan yang paling baik.
            Dengan demikian,yang menjadi landasan tentang larangan untuk menjadi perantara adalah adanya kemadaratan bagi penduduk,sedangkan jika menimbulkan kemaslahatan bagi penduduk hal itu diperbolehkan,bahkan dianjurkan.

B.Larangan menimbun barang pokok

عَنْ مَعْمَرِ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُ، عَنْ رَسُولِ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «لَا يَحْتَكِرُ إِلَّا خَاطِئٌ». ﴿رَوَاهُ مُسْلِم﴾
Dari Ma’mar bin Abdullah rađiyaLlāhu ‘anhu tentang Rasulullah şallaLlāhu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Tidaklah orang yang menimbun barang, melainkan ia berdosa karenanya.” (Şaĥīĥ Muslim ĥadīś no. 3013)
Menimbun yang diharamkan oleh Islam ialah, menumpuk kebutuhan-kebutuhan pokok manusia, dan tidak menjualnya sambil menunggu sampai harga barang di pasaran menjadi naik. Dengan disekapnya kebutuhan-kebutuhan pokok itu, maka barang-barang tersebut hilang diperedaran, padahall rakyat sangat membutuhkannya. Setelah situasi sudah sampai ketaraf ini, maka para penimbun dan tengkulak-tengkulak akan menjual barang-barangnya dengan harga tinggi. Tentu saja, akibat ulah mereka, maka beban yang harus dipikul oleh rakyat makin bertambah.
 Oleh karena itu, islam mengharamkan perbuatan ini, dan perdagangan semacam ini tidak dihalalkan menurut pandangan islam.
Akibat dari menimbun,keseimbangan pemerataan akan kacau dalam tubuh masyarakat, karena para tengkulak terus menyedot sebagian besar kekayaan rakyat tanpa mengenal belas kasihan. Sebagai akibatnya maka harga barang-barang dipasaran mengalami kenaikan drastis, dan keadaan pasaran menjadi guncang karena tidak adanya stabilitas harga barang-barang. Yang menjadi korban utama adalah kaum fakir miskin. Mereka tak dapat meraih kebutuhan-kebutuhan pokoknya disebabkan kemampuan daya beli mereka yang terbatas. Hal ini tidak akan bisa terjadi, seandainya tidak ada para tengkulak yang memborong semua kebutuhan-kebutuhan pokok, dan mencegahnya dari peredaran.
            Para ahli fiqh,sebagaimana dikutib oleh Drs.sudirman M,MA berpendapat bahwa penimbunan diharamkan bila terdapat syarat sebagai berikut.[1]
1.      Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya atau dapat dijadikan persediaan untuk setahun penuh.
2.      Barang yang ditimbunnya dalam usaha menunggu saat naiknya harga,sehingga barang tersebut dapat dijual dengan harga yang lebih tinggi dan para konsumen sangat membutuhkannya.
3.      Penimbunan itu dilakukan pada saat manusia sangat membutuhkannya,misalya makanan,pakaian,dan lain-lain.Dengan demikian penimbun barang-barang yang tidak dibutuhkan oleh konsumen,hal itu dianggap sebagai penimbunan karena tidak mengakibatkan kesulitan pada manusia.
Sedangkan mengenai hukum dari penimbunan barang tersebut,dikalangan ulama terjadi perbedaan pendapat.Akan tetapi,secara umum pendapat mereka dapat digolongkan menjadi dua kelompok:
1.      Menurut azhab jumhur darikalangan Syafi’iyyah,Kalikiyah,Hanabilah,Zahiriah,Zaidiah,Ibadiyah,Al-Imamiyah,dan Al-kasani dari golongan Hanafiyah,bahwa penimbunan barang hukumnya haram.Dengan pertimbangan bahwa perbuatan tersebut akan menimbulkan kemadaratan bagi manusia.
2.      Menurut pendapat fuqaha dari kalangan mazhab Hanafiyah,bahwa penimbunan barang dagangan hukumannya adalah makruh tahrim.dengan pertimbanganbahwa penimbunan tersebut diperbolehkan jika demi kemaslahatan manusia.
Pendapat ulama Hanafiyah tidak menimbulkan sanksi hukum karena hanya makruh tahrim saja. Padahal penimbun barang demi keuntungan pribadi sangatlah tercela karena ia berusaha mengeruk keuntungan ketika orang lain sangat kesusahan atau mencari diatas penderitaan orang lain.
 Tindakan itu tentu saja tidak bermoral dan tidak mengindahkan prinsip-prinsip kemanusiaan. Oleh karena itu, sangat tepat kalau perbuatan itu diharamkan oleh syara. Dalam riwayat lain diriwayatkan oleh Abu Dawud, At-Tirmidzi dan sahih Muslim dari ma’mar r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda :
من احتكرفهوخاط

Artinya : “ siapa saja yang melakukan penimbunan, ia dipandang (dianggap) bersalah “
            Berenaan dengan masalah penimbunan barang,Dr.Yusuf Qardhawy[2]) menyebutkan syarat-syarat pedagang yang akan mendapat rida Allah SWT yaitu antara lain:
1.        Pedagang hanya menjual barang-barang yang mubah,tidak memperdagangkan barang yang diharamkan syara’
2.        Pedagang tidak menipu dan berkhiyanat
3.        Pedagang tidak menimbun barang dagangan pada saat masyarakat sedang membutuhkan dengan tujuan memperoleh laba sebanyak-bayaknya karena menimbun dengan tujuan seperti itu hukumnya haram.
4.        Pedagang tidak boleh bersumpah palsu,bahkan sedapat mungkin harus menjauhi sumpah walaupun ia benar.Hal ini karena sumpah akan menenggelamkan pelakunya kedalam doa di dunia dan neraka kelak di akhirat.
5.        Pedangan tidak boleh meninggikan harga kepada kaum muslimin.apalagi kalau harga tersebut telah ditetapkan oleh pemerintah
6.        Hendaknya pedagang mengeluarkan zakatnya 2,5%,baik harta yang berputar maupun harta yang berputar maupun harta perniagaan yang diketahui nilinya.
7.        Pedagang tidak boleh disibukkan oleh perdagangannya sehingga lalai atas kewajiban agamanya.








KESIMPULAN
Menimbun / memonopoli adalah tindakan  menyimpan harta, manfaat atau jasa dan enggan menjual dan memberikannya kepada orang lain, yang mengakibatkan melonjaknya harga pasar secara drastis disebabkan persediaan terbatas atau stok barang hilang sama sekali dari pasar, sedangkan masyarakat, Negara atau pun hewan memerlukan produk, manfaat atau jasa tersebut.
Secara esensi definisi di atas sama, dan dapat difahami bahwa iktikar  yaitu:

1. Membeli barang ketika harga mahal.
2. Menyimpan barang tersebut sehingga kurang persediaannya di pasar.
3. Kurangnya persediaan barang membuat permintaan naik dan harga juga naik.
4. Penimbun menjual barang yang di tahannya  ketika harga telah melonjak.
5. Penimbunan barang menyebabkan rusaknya mekanisme pasar.
Berenaan dengan masalah penimbunan barang,Dr.Yusuf Qardhawy) menyebutkan syarat-syarat pedagang yang akan mendapat rida Allah SWT yaitu antara lain:
1.      Pedagang hanya menjual barang-barang yang mubah,tidak memperdagangkan barang yang diharamkan syara’
2.      Pedagang tidak menipu dan berkhiyanat
3.      Pedagang tidak menimbun barang dagangan pada saat masyarakat sedang membutuhkan dengan tujuan memperoleh laba sebanyak-bayaknya karena menimbun dengan tujuan seperti itu hukumnya haram.
4.      Pedagang tidak boleh bersumpah palsu,bahkan sedapat mungkin harus menjauhi sumpah walaupun ia benar.Hal ini karena sumpah akan menenggelamkan pelakunya kedalam doa di dunia dan neraka kelak di akhirat.
5.      Pedangan tidak boleh meninggikan harga kepada kaum muslimin.apalagi kalau harga tersebut telah ditetapkan oleh pemerintah
6.      Hendaknya pedagang mengeluarkan zakatnya 2,5%,baik harta yang berputar maupun harta yang berputar maupun harta perniagaan yang diketahui nilinya.
7.      Pedagang tidak boleh disibukkan oleh perdagangannya sehingga lalai atas kewajiban agamanya.






Daftar Pustaka
Chuzaimah T.yanggo,HA.Hafiz Anshary AZ,MA.(editor),problematika hukum islam kontemporer,(jakarta:LSIAK,1997)HLM.103

[1] Yusuf Qardhawy,Op.cit,hlm.756-762.

http://kangya2t.blogspot.com/2012/01/larangan-menimbun-barang-pokok.html


[1] Chuzaimah T.yanggo,HA.Hafiz Anshary AZ,MA.(editor),problematika hukum islam kontemporer,(jakarta:LSIAK,1997)HLM.103
[2] Yusuf Qardhawy,Op.cit,hlm.756-762.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar